Judul buku : Mohammad
Hatta – Hati Nurani Bangsa
Penerbit :
Kompas
Penulis : Dr.Deliar
Noer
Tahun Terbit : April 2012
Tebal buku : 191
halaman
Harga buku :
Rp42.000,00
Buku
ini diawali dengan kisah masa kecil Bung Hatta (1902-1917) di daerah
Bukittinggi dan Padang. Bagaimana ia di didik oleh sebuah keluarga ulama modern
yang tidak hanya mengedepankan pendidikan agama namun juga memperhatikan
pendidikan sekolah pada umumnya. Antara lain dengan memasukan Bung Hatta kecil
di dalam ELS (Europesche Lagere
School) sebuah sekolah dasar untuk orang kulit putih . Selain itu,
untuk memperkuat agamanya, Bung Hatta kecil juga biasa dididik mengaji dan
membiasakan kehidupan beragame Islam di surau Nyik Djambek dan di Padang antara
lain oleh arahan Haji Abdullah Ahmad. Disiplin hidup yang kental dengan
keagamaan (ibadah, akhlak dan moral) inilah yang kelak akan sangat berpengaruh
kuat terhadapa diri Mohammad Hatta, termasuk ketika ia sudah remaja dan Belajar
di Belanda yang menganut pergaulan bebas.
Mohammad
Hatta kemudian melanjutkan pendidikannya di Jakarta pada tahun 1917-1922. Di
sini ia mulai mulai memperlihatkan ketertarikannya dengan pergerakan nasional
yang sebenarnya sudah ia bangun semenjak ia berada di Padang. Ketika bersekolah
di MULO Padang, Mohammad Hatta telah bergabung dengan JSB (Jong Sumatera Bond).
Pemikiran
Mohammad Hatta tentang pergerakan nasional mulai matang pada masa ia menempuh
sekolahnya di Belanda (1921-1932). Ia melanjutkan sekolah di Handels
Hogeschool (Sekolah Tinggi Dagang, kemudian Economische Hogeshool, SekolahTinggi Ekonomi)
di Rotterdam. Kegiatannya di sana tidak hanya sebagai mahasiswa, Mohammad Hatta
juga aktif sebagai anggota dalan Indische
Vereneging (Perkumpulan Hindia). Perkumpulan ini kemudian
berganti nama menjadi Indonesische
Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) yang kemudian juga
seringkali disebut dengan singkatan PI. Organisasi inilah yang mempertemukan
Hatta dengan tokoh-tokoh besar pergerakan nasional sebelumnya antara lain:
Ahmad Subardjo, Sutomo, Hermen Kartowisastro, Iwa Koesoema Soemantri, Nazir
Datuk Pamuntjak dan Sukiman Wirjosandjojo. Pada tahun 1926, pimpinan PI bahkan
jatuh ke tangan Mohammad Hatta. PI di bawah pimpinan Mohammad Hatta
memperlihatkan banyak perubahan. Partai ini lebih banyak memperhatikan
perkembangan pergerakan nasional daripada hanya bergerak untuk organisasi
sosial seperti sebelumnya.
Masa
perjuangan Mohammad Hatta semakin serius sekembalinya ia dari Belanda
(1932-1931). Ia aktif dalam berbagai organisasi seperti PI, PNI, Partindo dan
bahkan pernah juga melakukan kontak delegasi ke Jepang. Di Jepang, Mohammad
Hatta bahkan mendapat julukan sebagai Gandhi dari Hindia Belanda. Keaktifannya
ini yang selalu diawasi oleh pemerintah Hinda Belanda yang akhirnya
menjatuhinya hukuman buang karena mengganggapnya terlibat dalam perkembangan
Indonesia. Mohammad Hatta dibuang ke Digul pada tahun 1935 dan kemudian ke
Banda Neira pada tahun 1936. Menariknya, Belanda membolehkan Mohammad Hatta
untuk membawa harta bendanya yang paling berharga, buku-bukunya, yang dikemas
dalam 14 peti terpisah!
Pada
masa pendudukan Jepang (1941-1945), Mohammad Hatta diminta untuk kembali ke
Pulau Jawa. Jepang memerlukan bantuan dari tokoh-tokoh nasional seperti
Mohammad Hatta, Soekarno, Sharir dan masih banyak lagi untuk pemerintah
pendudukan Jepang di Hindia Belanda. Dikisahkan juga bahwa sebenarnya tentara
pendudukan mempunyai maksud untuk membunuh Mohammad Hatta karena aktivitasnya
yang dianggap membahayakan kedudukan pemerintah pendudukan Jepang. Namun di
saat-saat yang menentukan, Hatta justru mendapat penghargaan dari pemerintah
pusat Jepang. Sebuah penghargaan atas dedikasi dan pengabdiannya, sungguh
sebuah ironi.
Masa-masa
awal kemerdekaan (Perang Kemerdekaan) adalah masa dimana Hatta dan Soekarno
disebut sebagai dwitunggal (1945-1949). Mereka nyaris tidak pernah mempunyai
perbedaan di dalam usaha mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Soekarno
berperan sebagai Presiden RI sedangkan Hatta sebagai wakilnya. Namun cukup disayangkan,
setelah masa-masa itu, sedikit demi sedikit hubungan mereka mulai retak
(1950-1956). Keretakan itu terutama disebabkan karena perbedaan pendapat yang
terjadi di antara mereka. Soekarno ingin mendirikan sebuah pemerintahan yang
kuat dan terpusat, dan Hatta lebih berpandangan bahwa sebaiknya
pendidikan politik kepada masyarakat segera dilakukan (dengan cara kaderisasi
dll). Sehingga kelak Indonesia mampu menerima kehidupan kemerdekaan yang
berdemokrasi secara menyeluruh. Keretakan ini berujung pada penggunduran
dirinya sebagai Wakil Presiden pada tahun 1956.
Untuk
selanjutnya, Mohammad Hatta dikisahkan menjalani aktivitasnya sebagai warga
negara biasa hingga akhir hayatnya (1956-1980). Ketika orde baru yang dipimpin
oleh Soeharto mengambil alih pemerintahan pada tahun 1966, awalnya Mohammad
Hatta menaruh harapan yang tinggi. Ia berharap bahwa pemerintahan militer itu
akan segera menggembalikan kedaulatan ke rakyat. Namun ternyata harapannya itu
tidak tercapai. Mohammad Hatta lebih memilih untuk menghindari pemerintah dan
menjadi warga biasa. Sampai akhirnya meninggal pada hari Jumat, 14 Maret 1980.
Keunggulannya
Menceritakan perjalanan hidup bung Hatta secara berurutan dari masa kecilnya
kemudian pergerakan-pergerakannya sampai kematiannya dan bahasanya menarik utk
dibaca
Di
samping itu kelemahan buku ini adalah bahasa yang digunakan kurang efektif.
MIsalnya “barang-barang yg dibawa pun sekedarnya, dgn akibat buku-buku
Hatta yg banyak terpaksa ditinggalkan”
Kesimpulan : Perjalanan Bung Hatta hendaknya menjadi
inspirasi bagi kita semua karena perjuangannya yg tidak kenal lelah dan cermat dalam mengambil setiap keputusan
Tidak ada komentar :
Posting Komentar