Kamis, 08 Agustus 2013

Tugas Resensi Buku

Judul buku     : Mohammad Hatta – Hati Nurani Bangsa
Penerbit         : Kompas
Penulis             : Dr.Deliar Noer
Tahun Terbit : April 2012
Tebal buku     : 191 halaman
Harga buku    : Rp42.000,00
Buku ini diawali dengan kisah masa kecil Bung Hatta (1902-1917) di daerah Bukittinggi dan Padang. Bagaimana ia di didik oleh sebuah keluarga ulama modern yang tidak hanya mengedepankan pendidikan agama namun juga memperhatikan pendidikan sekolah pada umumnya. Antara lain dengan memasukan Bung Hatta kecil di dalam ELS (Europesche Lagere School) sebuah sekolah dasar untuk orang kulit putih . Selain itu, untuk memperkuat agamanya, Bung Hatta kecil juga biasa dididik mengaji dan membiasakan kehidupan beragame Islam di surau Nyik Djambek dan di Padang antara lain oleh arahan Haji Abdullah Ahmad. Disiplin hidup yang kental dengan keagamaan (ibadah, akhlak dan moral) inilah yang kelak akan sangat berpengaruh kuat terhadapa diri Mohammad Hatta, termasuk ketika ia sudah remaja dan Belajar di Belanda yang menganut pergaulan bebas.
Mohammad Hatta kemudian melanjutkan pendidikannya di Jakarta pada tahun 1917-1922. Di sini ia mulai mulai memperlihatkan ketertarikannya dengan pergerakan nasional yang sebenarnya sudah ia bangun semenjak ia berada di Padang. Ketika bersekolah di MULO Padang, Mohammad Hatta telah bergabung dengan JSB (Jong Sumatera Bond).
Pemikiran Mohammad Hatta tentang pergerakan nasional mulai matang pada masa ia menempuh sekolahnya di Belanda (1921-1932). Ia melanjutkan sekolah di Handels Hogeschool (Sekolah Tinggi Dagang, kemudian Economische Hogeshool, SekolahTinggi Ekonomi) di Rotterdam. Kegiatannya di sana tidak hanya sebagai mahasiswa, Mohammad Hatta juga aktif sebagai anggota dalan Indische Vereneging (Perkumpulan Hindia). Perkumpulan ini kemudian berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) yang kemudian juga seringkali disebut dengan singkatan PI. Organisasi inilah yang mempertemukan Hatta dengan tokoh-tokoh besar pergerakan nasional sebelumnya antara lain: Ahmad Subardjo, Sutomo, Hermen Kartowisastro, Iwa Koesoema Soemantri, Nazir Datuk Pamuntjak dan Sukiman Wirjosandjojo. Pada tahun 1926, pimpinan PI bahkan jatuh ke tangan Mohammad Hatta. PI di bawah pimpinan Mohammad Hatta memperlihatkan banyak perubahan. Partai ini lebih banyak memperhatikan perkembangan pergerakan nasional daripada hanya bergerak untuk organisasi sosial seperti sebelumnya.
Masa perjuangan Mohammad Hatta semakin serius sekembalinya ia dari Belanda (1932-1931). Ia aktif dalam berbagai organisasi seperti PI, PNI, Partindo dan bahkan pernah juga melakukan kontak delegasi ke Jepang. Di Jepang, Mohammad Hatta bahkan mendapat julukan sebagai Gandhi dari Hindia Belanda. Keaktifannya ini yang selalu diawasi oleh pemerintah Hinda Belanda yang akhirnya menjatuhinya hukuman buang karena mengganggapnya terlibat dalam perkembangan Indonesia. Mohammad Hatta dibuang ke Digul pada tahun 1935 dan kemudian ke Banda Neira pada tahun 1936. Menariknya, Belanda membolehkan Mohammad Hatta untuk membawa harta bendanya yang paling berharga, buku-bukunya, yang dikemas dalam 14 peti terpisah!
Pada masa pendudukan Jepang (1941-1945), Mohammad Hatta diminta untuk kembali ke Pulau Jawa. Jepang memerlukan bantuan dari tokoh-tokoh nasional seperti Mohammad Hatta, Soekarno, Sharir dan masih banyak lagi untuk pemerintah pendudukan Jepang di Hindia Belanda. Dikisahkan juga bahwa sebenarnya tentara pendudukan mempunyai maksud untuk membunuh Mohammad Hatta karena aktivitasnya yang dianggap membahayakan kedudukan pemerintah pendudukan Jepang. Namun di saat-saat yang menentukan, Hatta justru mendapat penghargaan dari pemerintah pusat Jepang. Sebuah penghargaan atas dedikasi dan pengabdiannya, sungguh sebuah ironi.
Masa-masa awal kemerdekaan (Perang Kemerdekaan) adalah masa dimana Hatta dan Soekarno disebut sebagai dwitunggal (1945-1949). Mereka nyaris tidak pernah mempunyai perbedaan di dalam usaha mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Soekarno berperan sebagai Presiden RI sedangkan Hatta sebagai wakilnya. Namun cukup disayangkan, setelah masa-masa itu, sedikit demi sedikit hubungan mereka mulai retak (1950-1956). Keretakan itu terutama disebabkan karena perbedaan pendapat yang terjadi di antara mereka. Soekarno ingin mendirikan sebuah pemerintahan yang kuat dan terpusat, dan Hatta lebih berpandangan  bahwa sebaiknya pendidikan politik kepada masyarakat segera dilakukan (dengan cara kaderisasi dll). Sehingga kelak Indonesia mampu menerima kehidupan kemerdekaan yang berdemokrasi secara menyeluruh. Keretakan ini berujung pada penggunduran dirinya sebagai Wakil Presiden pada tahun 1956.
Untuk selanjutnya, Mohammad Hatta dikisahkan menjalani aktivitasnya sebagai warga negara biasa hingga akhir hayatnya (1956-1980). Ketika orde baru yang dipimpin oleh Soeharto mengambil alih pemerintahan pada tahun 1966, awalnya Mohammad Hatta menaruh harapan yang tinggi. Ia berharap bahwa pemerintahan militer itu akan segera menggembalikan kedaulatan ke rakyat. Namun ternyata harapannya itu tidak tercapai. Mohammad Hatta lebih memilih untuk menghindari pemerintah dan menjadi warga biasa. Sampai akhirnya meninggal pada hari Jumat, 14 Maret 1980.
Keunggulannya Menceritakan perjalanan hidup bung Hatta secara berurutan dari masa kecilnya kemudian pergerakan-pergerakannya sampai kematiannya dan bahasanya menarik utk dibaca
Di samping itu kelemahan buku ini adalah bahasa yang digunakan kurang efektif. MIsalnya “barang-barang yg dibawa pun sekedarnya, dgn akibat buku-buku Hatta yg banyak terpaksa ditinggalkan”

Kesimpulan     : Perjalanan Bung Hatta hendaknya menjadi inspirasi bagi kita semua karena perjuangannya yg tidak kenal lelah  dan cermat dalam mengambil setiap keputusan

Tidak ada komentar :

Posting Komentar